Stefano Rellandini
Libero.id - Derby della Madonnina merupakan salah satu pertandingan sepakbola paling panas di Italia selain Derby della Capitale, Derby d'Italia, atau Derby dela Mole. Ada banyak insiden ikonik dan legendaris yang dikenang penggemar sepakbola hingga bertahun-tahun kemudian. Contohnya, Liga Champions 2004/2005.
Pada 2004/2005, AC Milan dan Inter Milan sama-sama memiliki skuad yang sangat layak dikenang. Para pemain terbaik berkumpul dan menjadikan Derby della Madonnina tontonan bermutu.
Salah satu pertandingan yang tidak mungkin dilupakan terjadi pada 12 April 2005 saat Milan dan Inter bertemu pada leg kedua perempat final Liga Champions. Saat itu, pertandingan dilangsungkan dengan keunggulan 2-0 I Rossoneri melalui Jaap Stam dan Andriy Shevchenko pada leg pertama, dua minggu sebelumnya.
Laga itu bertabur bintang. Selain Stam dan Sheva, Milan juga memiliki Cafu, Paolo Maldini, Alessandro Nesta, Massimo Ambrosini, Gennaro Gattuso, Kaka, Andrea Pirlo, Clarence Seedorf, Hernan Crespo, Filippo Inzaghi, hingga Rui Costa.
Materi I Nerazzurri juga tidak kala menterang. Mereka punya Marco Materazzi, Javier Zanetti, Esteban Cambiasso, Juan Sebastien Veron, dan Adriano Leite Ribeiro. Nama terakhir bahkan sedang berada dalam puncak karier.
Jadi, pertandingan itu berjalan dengan tensi tinggi. Inter memiliki segalanya untuk membalikkan keadaan di leg kedua. Tapi, Shevchenko justru membuat Milan unggul 1-0 pada menit 30. Dengan agregat 3-0 untuk Milan, sudah pasti para penggemar Inter tidak senang.
Pada babak kedua, tepatnya menit 72, Cambiasso mencetak gol sundulan. Tapi, saat pemain Argentina itu akan merayakan, wasit menganulir karena menilai terjadi pelanggaran. Bahkan, protes yang dilakukan Cambiasso berujung kartu kuning.
Layaknya Cambiasso, para pendukung Inter juga tidak terima. Mereka marah. Lalu, menyalakan flare, kembang api, dan bom asap. Selanjutnya, benda-benda berbahaya itu dilemparkan ke lapangan dari Curva Nord bersama dengan botol minuman, payung, koin, kayu, hingga batu. Korbannya, Nelson Dida.
Tiba-tiba stadion penuh dengan asap, bising, keributan di mana-mana seperti bakal pecah perang saudara. Wasit asal Jerman, Markus Merk, memutuskan menunda permainan selama 20 menit.
Penundaan itu ternyata melahirkan salah satu momen paling ikonik dalam sejarah sepakbola, yang terekam jelas dalam sebuah foto. Gambar itu viral ke segala penjuru bumi dan abadi hingga detik ini. Itu menjadi simbol bahwa sepakbola hanya permainan selama 90 menit.
Foto apakah itu? Itu adalah gambar Rui Costa dan Materazzi berdiri berdampingan. Sang bek dengan santai bersandar di bahu Rui Costa sambil menyaksikan kekacauan yang ditimbulkan tifosi.
??? ?? ??? ???? ?????? ?????? ?? ????????.
Marco Materazzi and Rui Costa look on as the San Siro is showered in flares during the Champions League quarter-final between AC Milan and Inter.#OnThisDay in 2005.#UCL pic.twitter.com/lpg4mYYBqh
— Football on BT Sport (@btsportfootball) April 12, 2022
Di hari berikutnya, terungkap fakta bahwa itu merupakan jepretan Fotografer Reuters, Stefano Rellandini. "Sejujurnya, ide saya adalah memiliki (gambar) satu pemain Inter dan satu pemain Milan bersama (di latar depan), dengan fokus pada asap di lapangan," kata Rellandini, dilansir Reuters.
"Saya mengambil beberapa frame karena Materazzi sangat dekat dengan Rui Costa, melihat asap. Tiba-tiba, Materazzi meletakkan tangannya di bahu Rui Costa selama beberapa detik, dan ketika saya melihatnya, klik! Beberapa frame, tidak lebih dari tiga. Segera setelah Materazzi meletakkan lengannya di bahunya, saya berpikir, itulah gambarnya," ungkap Rellandini.
Sikap persahabatan spontan Materazzi mengubah apa yang seharusnya menjadi headline di media-media pada keesokan harinya. Orang tidak membahas kerusuhan, melainkan aksi Materazzi dan Rui Costa.
OTD 2005: A UCL quarterfinal between Inter and Milan was abandoned after flares were thrown on to the pitch, with one striking Dida.
While play was suspended, Marco Materazzi and Rui Costa stood side by side to create one of football's most iconic photos ? pic.twitter.com/BHWHN1bqGe
— B/R Football (@brfootball) April 12, 2022
"Fotografer selalu takut bahwa seseorang bisa memiliki gambar yang lebih baik dari anda. Dan, di Liga Champions, anda memiliki banyak fotografer di lapangan. Jadi, anda tidak tahu. Anda tahu kapan anda memiliki gambar yang bagus. Tapi, anda tidak dapat yakin 100 persen," ujar Rellandini.
"Ketika salah satu gambar anda menjadi simbol atau sesuatu yang dikenali semua orang, anda merasa bangga dengan pekerjaan anda. Anda menghabiskan banyak waktu untuk meliput pertandingan sepakbola. Dingin sekali, hujan. Ada antrian panjang sebelum pertandingan untuk mendapatkan yang terbaik. Tempat di samping lapangan. Ini pekerjaan yang membuat stres," tambah Rellandini.
"Seringkali, tidak ada yang peduli dengan pekerjaan anda. Sebagian besar waktu, itu adalah gambar rutin. Tapi, ketika sesuatu seperti itu terjadi, itu membuat semuanya berharga," pungkas Rellandini.
(mochamad rahmatul haq/anda)
Kenalkan Kenzo Riedewald, Pemain Berdarah Suriname-Indonesia yang Siap Bela Timnas U-17
Bima Sakti berencana memasukan namanya ke timnas U-17.Profil Ellie Carpenter, Pemain yang Mampu Saingi Lemparan ke Dalam Pratama Arhan
Dia adalah pemain Timnas Wanita Australia...Profil Julian Schwarzer, Penjaga Gawang Filipina yang Kini Bermain Bersama Arema FC
Pernah bermain di Inggris bersama Fulham...Profil Amara Diouf, Pemain Muda Senegal yang Dianggap Sebagai The Next Sadio Mane
Pada Piala Dunia U-17 2023 Amara Diouf bisa jadi ancaman berbahaya...
Opini