Libero.id - Pendudukan Uni Soviet yang sangat lama membuat Latvia kehilangan tradisi sepakbola. Meski punya tim dan pemain hebat pada masa lalu, kehadiran Uni Soviet membuat posisi terhormat sepakbola digantikan hoki es.
Latvia sudah memainkan pertandingan internasional pertama pada 1922. Duel melawan Estonia itu berakhir imbang 1-1. Latvia juga telah memenangkan Piala Baltik 12 kali, dan memainkan 99 pertandingan resmi selama periode sebelum perang pada 1922-1940.
Pada 1937, Latvia berpartisipasi pada Kualifikasi Piala Dunia 1938. Mereka ditempatkan di Grup 8, bersama Austria dan Lithuania. Latvia mengalahkan Lithuania 4-2 di Riga lewat hattrick Fricis Kaņeps dan Iļja Vestermans. Sementara saat di Kaunas, mereka menang 5-1. Sayang, mereka gagal lolos setelah dikalahkan Austria pada pertandingan tandang yang menentukan.
Perjalanan sepakbola Latvia berhenti pada 1940 ketika dianeksasi Uni Soviet. Kompetisi tetap bergulir dengan ruang lingkup lokal. Tidak ada pertandingan internasional karena pemain Latvia harus menjadi anggota tim nasional Uni Soviet jika ingin ikut Piala Eropa atau Piala Dunia. Akibatnya, sepakbola mati suri.
Semua berubah ketika Uni Soviet runtuh pada 1991. Lalu, pada 8 April 1992, Latvia menjalani pertandingan pertama dalam agenda FIFA melawan Rumania. Beberapa bulan sebelumnya, liga sepakbola profesional kembali digulirkan setelah sejak 1940-1990 berstatus amatir di bawah Uni Soviet.
Bergulirnya kembali kompetisi profesional benar-benar menggairahkan sepakbola Latvia. Klub-klub kembali bersemangat membina pemain. Pesepakbola-pesepakbola dengan kualitas eksport dihasilkan kembali.
Dari sedikitnya pemain hebat yang dilahirkan Latvia, munculah Marian Pahars. Mantan penyerang kelahiran 5 Agustus 1976 tersebut populer dan dikenal secara luas di luar negeri saat memperkuat Southampton di Liga Premier. Selama 7 musim bermain untuk The Saints, Pahars mengemas 43 gol dari 137 pertandingan.
"Awalnya sangat berat. Saya hanya sendirian di sudut ruang ganti. Tidak ada yang berbicara dengan saya karena mereka tidak tahu bahasa saya dan saya juga tidak tahu bahasa mereka (Inggris)," ujar Pahars mengenang masa-masa awal berkarier di Southampton, kepada The Guardian.
"Setiap selesai latihan (atau pertandingan) saya langsung pulang ke hotel bersama istri saya. Saat itu saya belum punya rumah. Istri saya sedang hamil. Setiap pagi tiba saya merasa berat untuk pergi latihan. Saya hampir menyerah. Saya terkucil. Benar-benar sulit," tambah sosok yang dijuluki Michael Owen dari Latvia itu.
Pahars memulai karier profesionalnya bersama Perdaugava di kompetisi lokal Latvia pada 1994. Setelah itu, dirinya memperkuat dua tim lokal lain, Skonto Metals dan Skonto Riga hingga 1998.
Peruntungan di luar negara dicoba Pahars dengan menjadi pemain Southampton mulai 1998/1999. Kariernya tak terlalu mulus di awal musim. Tercatat, dia hanya bermain di 6 kali dan mengemas 3 gol. Pahars kesulitan beradaptasi karena ada banyak hal yang berbeda di Inggris dari apa yang selama ini dilihat di kampung halamannya di Latvia.
"Secara perlahan semuanya berubah. Saya mulai belajar (Bahasa Inggris). Lalu, saya mulai mencetak gol. Saya mulai bergaul. saya mulai mendapatkan teman-teman dan seketika semuanya berubah," kata Pahars.
Musim kedua, performa Pahars melonjak jauh. Dia mulai dipercaya sebagai starter dan kerap bermain penuh. Total, 33 pertandingan Liga Premier dan 13 gol diukir Pahars. Musim terbaik Pahars bersama Southampton terjadi pada 2001/2002. Dalam satu musim, dirinya dipercaya bermain 36 kali dan mampu mencetak 14 gol.
Selama di The Dell (stadion lama Southampton), Pahars bekerja di bawah arahan pelatih-pelatih top Inggris. Dia pernah bekerja dengan Glenn Hoddle dan Gordon Strachan. Itu dua pelatih lokal dengan reputasi Eropa.
Namun, Pahars menyatakan, pelatih pertamanya di The Saints, Dave Jones, yang memiliki jasa besar. Jones adalah orang yang memainkan Pahars di skuad utama setelah melihat aksinya ketika membela tim cadangan Southampton melawan Oxford United.
"Saya berterima kasih kepada Jones karena telah memberi saya kesempatan. Dia fair karena memainkan pemain yang memang sedang bagus. Tentu saja tidak semua pelatih seperti itu. Bagi saya dia pelatih hebat. Dia punya taktik jitu. Dia punya kelebihan dalam berbicara dari hati ke hati dengan pemainnya. Saat pemain sedang bermain buruk, dia datang untuk memotivasi," tambah Pahars.
Pahars pergi dari Inggris setelah Southampton terdegradasi. Setelah itu, dia memilih berkarier di Siprus bersama Anorthosis Famagusta. Karier profesionalnya diakhiri di Latvia dengan membela dua Skonto dan Jurmata. Bersama timnas, Pahars bermain pada 75 laga dan mencetak 15 gol.
Setelah pensiun, Pahars menyempatkan diri mengambil lisensi pelatih. Pada 2011, dia menukangi Skonto. Tapi, hanya bertahan hingga 2012. Lalu, pada 2013 melatih Latvia U-21 yang dilanjutkan tim senior Latvia hingga 2017. Terakhir, dia melatih Jelgava pada 2018-2019.
Pahars juga tidak hanya aktif di sepakbola. Dia sempat mencoba peruntungan terjun ke politik. Bergabung dengan partai politik lokal bertajuk Gods kalpot Rigai!, Pahars terjun ke pemilihan Dewan Kota Riga 2020. Hasilnya, gagal.
Kenalkan Kenzo Riedewald, Pemain Berdarah Suriname-Indonesia yang Siap Bela Timnas U-17
Bima Sakti berencana memasukan namanya ke timnas U-17.Profil Ellie Carpenter, Pemain yang Mampu Saingi Lemparan ke Dalam Pratama Arhan
Dia adalah pemain Timnas Wanita Australia...Profil Julian Schwarzer, Penjaga Gawang Filipina yang Kini Bermain Bersama Arema FC
Pernah bermain di Inggris bersama Fulham...Profil Amara Diouf, Pemain Muda Senegal yang Dianggap Sebagai The Next Sadio Mane
Pada Piala Dunia U-17 2023 Amara Diouf bisa jadi ancaman berbahaya...
Opini