Di Canio terbilang memiliki rentetan kisah yang unik dan menarik sehingga membuat namanya menjadi semakin dikenang.
Paolo Di Canio adalah pesepakbola yang sangat eksentrik dan penuh teka-teki, yang kemudian menjadi salah satu pemain West Ham United yang paling dielu-elukan.

Selama karirnya bersama West Ham United, Di Canio terbilang memiliki rentetan kisah yang unik dan menarik sehingga membuat namanya menjadi semakin dikenang.

Tujuannya, dramanya, hasratnya, dan kemampuannya untuk memberikan yang terbaik menjadikan Di Canio sebagai legenda hidup West Ham United di era modern.

Awal karir Di Canio membawanya menjelajahi Italia dengan bermain untuk Lazio, Juventus, Napoli, dan AC Milan.

Meskipun bermain di klub-klub besar, Di Canio tidak pernah bisa mengklaim sebagai pemain inti dikarenakan berbagai sebab, baik karena persaingan di Juventus dengan Baggio dan Vialli, atau perselisihan publik dengan manajer Giovani Trapattoni di Juventus dan Fabio Capello di AC Milan.

Perjalanan nomadennya melintasi tanah airnya berakhir dengan pindah ke Celtic pada tahun 1996. Musim pertama yang sangat baik di utara perbatasan membuatnya mendapatkan penghargaan sebagai Pemain Terbaik SPFA dan ingin menetap lebih lama di Celtic Park.

Namun, tuntutan gaji yang berlebihan membuatnya dengan cepat dipindahkan ke Sheffield Wednesday, di mana sekali lagi dia menjadi favorit penggemar.

Namun, waktu Di Canio di Inggris tampaknya akan segera berakhir setelah ia dilarang bermain selama sebelas pertandingan karena mendorong wasit Paul Alcock.

Pasca kejadian tersebut, West Ham dan Harry Redknapp masuk untuk menyelamatkan kariernya yang nyaris hancur lebur.

Wednesday terkena kerugian sekitar 3 juta pound  karena West Ham mengontraknya dengan harga 1,5 juta pound pada Januari 1999, setelah tidak bermain sejak September tahun sebelumnya.

Dari empat tahun di London Timur, 2000 adalah tahun dimana Di Canio mengokohkan warisannya. Pada bulan Februari, West Ham menyambut Bradford di Upton Park. Di Canio berada di tengah drama. West Ham tertinggal 2-4 ketika Di Canio menari-nari di dalam kotak penalti lawan hingga akhirnya ia dijatuhkan.

Alih-alih memberikan penalti, wasit malah melanjutkan permainan. Marah, Di Canio menuntut untuk diganti, berlari ke tepi lapangan karena merasa sangat frustrasi.

Redknapp memaksanya untuk bertahan, pergerakannya yang lincah menjadi kunci untuk memenangkan pertandingan.

Akhirnya, West Ham diberi penalti oleh wasit. Frank Lampard menempatkan bola di titik penalti sebelum Di Canio merebutnya dari pemain yang kini menjadi arsitek Chelsea.



Jika gagal, kariernya bersama West Ham mungkin akan berjalan sangat berbeda. Kabar baiknya, dia mampu mencetak gol dari titik putih dan dengan perayaan yang diredam, dia mengambil bola untuk sesegera mungkin melakukan kick off.

Dia ingin mengambil tanggung jawab, bukan untuk ketenaran tetapi untuk memastikan timnya memiliki kesempatan. Sikap militansi di Canio ini menyebabkan West Ham menjadi pemenang 5-4, dengan Frank Lampard menutup kemenangan the Hammers.

Pada bulan Maret, Wimbledon datang ke Upton Park dan Di Canio mampu memporak-porandakan pertahanan mereka dengan gol yang sangat spektakuler kala itu.

Everton dihadapinya pada Desember 2000. Di Canio memiliki peluang untuk memenangkan pertandingan, dengan kedudukan imbang 1-1.

Lagi-lagi di pertandingan ini Di Canio mampu tampil gemilang dengan mampu mengacak-ngacak pertahanan Everton yang kala itu dikawal oleh kiper bernama Paul Gerrard.

West Ham yang kala itu terus melakukan serangan melalui crossing-crossing dari sisi sayap akhirnya berhasil mencetak gol melalui Di Canio yang mampu menyambar bola dari hasil tangkapan kurang sempurna Gerrard.

Musim 2001/2 Di Canio datang ke markas Manchester United dengan kepercayaan diri yang tinggi.

Golnya di Old Trafford untuk memastikan kemenangan di ajang Piala FA bahkan masih dikenang hingga hari ini, merupakan salah satu momen tak terlupakan.

Menerobos ke gawang dan dianggap offside oleh semua orang di stadion, Di Canio berhasil berhadap-hadapan dengan Barthez, yang bersiap menghalau bola.

Di Canio melanjutkan untuk menggeser bola dengan cepat melewati pemain Prancis itu, yang benar-benar membuatnya malu.

Awal 2002, Manchester United dan Di Canio kembali dibicarakan bersama. Kali ini, Ferguson ingin merekrut pemain Italia itu sebagai pengganti Sheringham, Cole, dan juga Yorke. West Ham bergeming dan Yorke pun tidak pindah.

Rumor kepindahan Di Canio yang gagal ini berarti menunjukkan bahwa West Ham memiliki seorang pemain yang benar-benar dipercaya.

Mereka telah melihat Paul Ince pergi ke Setan Merah, tetapi jika anak mereka yang hilang melakukan hal yang sama, kiamat akan segera terjadi.

West Ham terdegradasi pada 2002/3 yang telah noda besar dalam sejarah klub. Pemain seperti Joe Cole, Michael Carrick, David James, Jermain Defoe dan tentu saja, Di Canio, tidak dapat mencegah degradasi, padahal itu mungkin akan menjadi musim terakhirnya.

Di musim itu Di Canio berselisih dengan manajer Glen Roeder hingga dikeluarkan dari tim utama. Namun setelah posisi manajer diambil-alih oleh Sir Trevor Brooking akibat tumor otak yang diderita Roeder, akhirnya Di Canio kembali lagi ke skuad utama dalam beberapa pertandingan terakhir di liga.

Kehadirannya tidak cukup untuk mencegah degradasi. Gol terakhirnya datang sebagai penyeimbang menit terakhir saat tandang ke Birmingham City pada hari terakhir musim tersebut.

Kisah Di Canio menunjukkan bahwa tak ada hubungan yang sempurna antara pemain dengan klub, bahkan di saat semua pihak saling mendukung satu sama lain.

Potensi yang dimiliki West Ham saat itu seharusnya mampu mengantarkan mereka sebagai pesaing untuk memperebutkan tiket ke Eropa, namun naas mereka justru terdegradasi.

Di Canio akhirnya memutuskan untuk pergi menuju Charlton Athletic dan sempat kembali ke Italia.

Mungkin suatu hari nanti, di masa depan, kita akan melihat Di Canio berkeliaran di pinggir lapangan Stadion London dengan jabatan sebagai manajer.